LAZ RYDHA – Rumah Yatim Dhuafa Rydha

Menangislah seperti wanita

Menangislah seperti wanita

Menangislah seperti wanita seperti yang diceritakan  DR. Thariq al-Suwaidan merinci perilaku Abu Abdillah al-Shaghir di Granada sebagai Alkhiyanah al-Kubra (Pengkhianatan Besar), kota terakhir yang dimiliki oleh umat Muslim. Mulai dari meminta bantuan tentara Kristen untuk membantai sesama Muslim hingga momen penyerahan Granada dengan penuh penghinaan.

Sejarah dengan rinci menceritakan suasana saat Granada diserahkan kepada kerajaan Kristen. Raja dan Ratu Kristen tiba dengan segala kemegahan, ditemani oleh pengawal dan pendeta. Mereka memasuki istana al-Hamra’, simbol kebesaran Granada, siap menerima kota yang indah tersebut.

Namun, Abu Abdillah al-Shaghir memberikan sambutan yang memalukan. Ia memberikan hadiah istimewa kepada sang raja, bahkan berlutut di hadapan Raja Kristen sambil mencium tangan sang raja.

Tindakan ini, menurut al-Suwaidan, mencerminkan akhir dari perjuangan umat dan negeri. Meskipun masyarakat Muslim mungkin tidak menyadarinya, para pengkhianat jelas mengerti langkah-langkah penggadaian umat dan negeri. Dengan mencium tangan raja Kristen, Granada resmi jatuh ke tangan Kerajaan Kristen Castille.

Tak ada yang tersisa kecuali harapan Abu Abdillah al-Shaghir yang ternyata hanya sebuah mimpi. Keinginan untuk menjaga eksistensi umat Muslim hanya sebatas keinginan tanpa bukti. Yang pasti dan terbukti hanyalah penyerahan Granada dan penghormatan kepada sang raja dengan menekuk lutut di hadapannya. Pengkhianatan terhadap umat telah terjadi.

Abu Abdillah bahkan diminta meninggalkan Granada oleh Raja Kristen, hanya setahun setelah mencium tangan sang raja dan menekuk lututnya. Dia harus meninggalkan Granada dan Andalus selamanya.

Abu Abdillah pergi bersama orang-orang yang setia padanya. Saat sampai di sebuah bukit, dia naik ke atas sambil memandangi Granada untuk terakhir kalinya. Kota besar, kuat, dan indah yang telah dijualnya dengan impian yang tidak pernah terwujud. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, tangis yang meledak tak tertahankan.

menangislah seperti wanita

Tangisannya terputus oleh teguran sang bunda, Aisyah al-Hurrah. Dengan nada marah, sang bunda mengingatkan Abu Abdillah:

“Menangislah… menangislah… menangislah…
Ya, menangislah seperti wanita!
Kerajaan yang tidak bisa kamu jaga seperti laki-laki:
Menangislah seperti wanita, kerajaan yang lenyap.
Kamu tidak sanggup menjaganya seperti laki-laki.”

Kemarahan sang bunda begitu kuat, melihat anaknya hanya bisa menangis setelah segalanya terlambat. Abu Abdillah al-Shaghir menyesali tindakannya yang telah menyebabkan umat Islam kehilangan segalanya. Dalam sejarah, bukit tempat dia menangis masih menjadi saksi bisu penyesalan, menjadi pelajaran bagi setiap pengkhianat umat.

Masyarakat Spanyol menyebut bukit itu sebagai el último suspiro de Moro, yang diterjemahkan sebagai “tangisan terakhir (raja) Arab” dalam Bahasa Arab. Di sanalah tangisan terakhir itu mengalir. Setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat, sudah 517 tahun umat Islam belum mampu mengembalikan Andalus yang hilang.

Abu Abdillah melanjutkan perjalanannya menuju Malila dan menetap di Fez, Maroko, hingga akhir hayatnya. Di Fez, sejarah memberikan pelajaran besar. Abu Abdillah hidup dalam kemiskinan selama 27 tahun, bertahan dengan infak dan wakaf belas kasihan. Hartanya lenyap, dan ia tidak meninggalkan warisan apapun.

Fez menjadi saksi akhir hidup seorang pengkhianat umat, mengajarkan pelajaran besar. Pengkhianatan berujung pada kehinaan, kesengsaraan, dan penyesalan di dunia ini. Allah tidak meridhai tipu daya orang yang berkhianat, seperti yang ditegaskan oleh Nabi Yusuf alaihis salam.

Inilah kisah tangisan seorang pengkhianat umat, yang hanya bisa menangis setelah semuanya terlambat. Tangisan yang tidak dapat mengembalikan kejayaan, tetapi menjadi awal dari kehancuran. Semoga Allah mengampuni kita semua.

Salaurkan Infak Terbaik anda melalui LazRydha