Syaban merupakan bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriah. Bulan ini diapit oleh dua bulan mulia, yakni Rajab dan Ramadhan. Kendati demikian, Syaban juga memiliki keutamaan yang sayang untuk dilewatkan. berikut ini amalan-amalan di bulan Sya’ban :
Bulan Puasa Sunnah
Bulan Sya’ban menjadi bulan yang dianjurkan untuk meningkatkan puasa sunah. Rasulullah SAW, pada bulan ini, secara aktif melaksanakan puasa sunah. Bahkan, beliau hampir menjalankan puasa sunah sepanjang bulan, kecuali pada satu atau dua hari di penghujung bulan, agar tidak menyelisih waktu awal Ramadhan dengan puasa sunah yang dilakukan satu atau dua hari sebelumnya. Beberapa dalil syar’i yang menjelaskan hal ini adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
Dari Aisyah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunah melebihi (puasa sunah) di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Dalam riwayat lain Aisyah berkata:
كَانَ أَحَبُّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانَ، ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW untuk berpuasa sunah adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Daud no. 2431 dan Ibnu Majah no. 1649)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
Dari Ummu Salamah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi no. 726, An-Nasai 4/150, Ibnu Majah no.1648, dan Ahmad 6/293)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis: “Hadits ini merupakan dalil keutamaan puasa sunah di bulan Sya’ban.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari)
Imam Ash-Shan’ani berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengistimewakan bulan Sya’ban dengan puasa sunnah lebih banyak dari bulan lainnya. (Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/239)
Makna dari berpuasa dua bulan berturut-turut di sini adalah melaksanakan puasa sunah sepanjang sebagian besar bulan Sya’ban (hingga 27 atau 28 hari) dan kemudian menghentikan puasa satu atau dua hari sebelum bulan Ramadhan. Setelah itu, umat Islam melanjutkan dengan melaksanakan puasa wajib Ramadhan selama satu bulan penuh. Pendekatan ini sesuai dengan hadits Aisyah yang telah disampaikan di awal artikel, dan juga sejalan dengan dalil-dalil lain seperti:
Aisyah RA melaporkan bahwa Rasulullah SAW sangat aktif berpuasa sunah pada bulan Sya’ban. Beliau melaksanakan puasa sepanjang bulan tersebut, kecuali untuk beberapa hari tertentu. (HR. Muslim no. 1156 dan Ibnu Majah no. 1710)
Abu Hurairah RA meriwayatkan sabda Rasulullah SAW, “Janganlah seseorang di antara kalian mendahului puasa Ramadhan dengan puasa (sunah) sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali jika seseorang telah memiliki kebiasaan berpuasa sunah tertentu, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Daud, maka dia boleh berpuasa pada hari tersebut.” (HR. Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1082)
Bulan Kelalaian
Para ulama salaf menjelaskan hikmah dibalik kebiasaan kebijakan Rasulullah SAW yang memperbanyak puasa sunah di bulan Sya’ban dengan merinci hikmah-hikmah di baliknya. Kedudukan puasa sunah di bulan Sya’ban diibaratkan seperti kedudukan shalat sunah qabliyah terhadap shalat wajib. Puasa sunah di bulan Sya’ban dianggap sebagai persiapan yang sesuai dan penyeimbang bagi keterbatasan dalam melaksanakan puasa wajib Ramadhan.
Selain itu, hikmah lainnya disampaikan dalam hadits yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid R.A. Ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, mengapa saya tidak pernah melihat Anda berpuasa sunah dalam satu bulan tertentu lebih banyak daripada bulan Sya’ban?” Rasulullah SAW menjawab:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفِلُ النَّاسُ عَنْهُ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَال إِلى رَبِّ العَالمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عملي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ia adalah bulan di saat manusia banyak yang lalai (dari beramal shalih), antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan di saat amal-amal dibawa naik kepada Allah Rabb semesta alam, maka aku senang apabila amal-amalku diangkat kepada Allah saat aku mengerjakan puasa sunah.” (HR. Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah. Ibnu Khuzaimah menshahihkan hadits ini)